Opini Mahasiswa MH
Jeritan di Bawah Ban Rantis: Antara Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Warga Negara
Oleh : Briely Daffa Aufan, Mahasiswa MH Angkatan 2025
“Jeritan di bawah ban rantis” merupakan simbol tragis dari ketegangan yang terjadi antara negara dan rakyatnya. Pada satu sisi, negara memiliki tujuan secara konstitusional yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-IV salah satunya untuk, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Namun di sisi lain, praktik yang terjadi di lapangan kerap menunjukkan ironi dan ketidaksesuaian alih-alih melindungi, tindakan aparat justru berujung pada pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kasus tabrakan yang disebabkan oleh kendaraan taktis (rantis) brimob baru-baru ini menunjukkan bahwa diperlukannya evaluasi dan pengawasan secara menyeluruh terhadap segala praktik penegakan hukum yang terjadi di lapangan. Secara hukum, penggunaan kendaraan taktis dalam pengendalian massa harus tunduk pada prinsip legalitas, proporsionalitas dan akuntabilitas. Artinya, penggunaan kendaraan taktis haruslah berdasarkan hukum yang berlaku, penggunaan kekuatan harus seimbang dengan ancaman yang dihadapi dan tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 28G UUD 1945, menjamin hak setiap orang atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Lebih jauh, dalam Perkapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa menegaskan bahwa aparat wajib mendahulukan langkah persuasif, dialogis dan humanis sebelum menggunakan kekuatan fisik atau peralatan taktis. Tindakan represif yang menimbulkan korban sipil adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip hukum itu sendiri. Evaluasi dalam hal ini menjadi penting, apakah tujuan perlindungan bangsa diartikan sebagai proteksi terhadap negara semata ataukah rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Jika, konstitusi dipahami secara utuh, maka rakyatlah yang seharusnya menjadi pusat perlindungan. Negara tidak boleh mengorbankan hak asasi warga negara dengan dalih keamanan, sebab keamanan sejati hanya lahir ketika rakyat sebagai kelompok rentan ketika melawan negara terlindungi hak-haknya. Berangkat dari hal ini maka diperlukan adanya perbaikan agar situasi yang melanggar prinsip hukum tidak terulang kedepannya. Solusi yang dapat diterapkan pada saat ini ialah dengan meningkatkan tanggungjawab (akuntabilitas) dari para aparat penegak hukum melalui dokumentasi setiap penggunaan kekuatan dan kewenangan serta pengawasan dari lembaga independen misalnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Kemudian, diperlukan adanya restorasi terhadap hak korban dalam hal korban yang terkena dampak kerugian harus mendapatkan akses pemulihan baik berupa kompensasi maupun rehabilitasi. Terakhir, pendidikan mengenai hak asasi manusia wajib diberikan secara berkelanjutan kepada para aparat penegak hukum agar dapat memahami setiap hak yang dimiliki oleh warga negara Indonesia sehingga dapat terbentuk kesadaran untuk melindungi bukan menakuti masyarakat pada saat praktik lapangan.
Raja Ampat Ironi Luka di Persimpangan Surga dan Tambang
Oleh : Briely Daffa Aufan, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Raja Ampat sering kali dijuluki sebagai surga terakhir di bumi karena kekayaan ekosistem lautnya yang unik dan keindahan lanskap karst yang memukau. Namun, di balik pesona tersebut, muncul ancaman yang serius mengenai eksploitasi tambang yang justru berpotensi merusak nilai ekologis dan sosial yang tak ternilai. Pada perspektif hukum, dinamika ini memperlihatkan bagaimana regulasi sumber daya alam seringkali berada di persimpangan antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan kewajiban konstitusional untuk melindungi lingkungan hidup. Konstitusi Indonesia melalui Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, frasa “kemakmuran rakyat” sendiri sering dimaknai sempit, terbatas pada aspek ekonomi material, sementara dimensi ekologis dan kultural diabaikan. Tambang di kawasan sensitif seperti Raja Ampat justru berisiko melahirkan kerugian yang lebih besar dibanding manfaat, baik dari segi hilangnya ekosistem, rusaknya pariwisata berkelanjutan maupun konflik sosial yang nantinya muncul akibat dari perbedaan kepentingan yang terjadi. Pada perspektif regulasi, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebenarnya memberikan landasan kuat untuk mencegah kerusakan ekologis melalui sistem izin lingkungan dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL). Melihat lebih kedalam, kawasan Raja Ampat sendiri telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 36/KEPMEN-KP/2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat sehingga harusnya menjadi dasar pembatasan kegiatan ekonomi atau usaha yang berkaitan langsung dengan sumber daya alam dari lingkungan (ekstraktif). Namun, lemahnya pengawasan, tumpang tindih kewenangan dan tekanan investasi membuat norma hukum tersebut sering mandul di lapangan. Ironi semakin nyata ketika hukum yang seharusnya melindungi justru dipolitisasi. Izin usaha pertambangan (IUP) kadang dikeluarkan tanpa memperhatikan asas kehati-hatian (precautionary principle) maupun hak masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam. Padahal, prinsip sustainable development dan intergenerational equity sudah menjadi standar hukum lingkungan internasional yang semestinya dijadikan acuan. Pada konteks Raja Ampat, penegakan hukum lingkungan seharusnya tidak sekadar reaktif setelah kerusakan tejadi, melainkan preventif dengan menutup celah regulasi yang memungkinkan di kawasan konservasi. Mekanisme hukum seperti gugatan warga negara (citizen lawsuit), hak gugat organisasi lingkungan, hingga gugatan class action masyarakat adat perlu diperkuat agar suara lokal tidak tenggelam di balik kepentingan modal. Selain itu, diperlukan adanya penguatan terhadap koordinasi lintas kementrian agar tidak terjadi tumpang tindih aturan, serta mendorong revisi regulasi agar kawasan konservasi dapat terlindungi.
Kesadaran Hukum (masyarakat) Lingkungan sebagai Modal Sosial Strategis di Kegiatan Penambangan Timah Inkonvensional di Kepulauan Bangka Belitung
(Environmental Law Awareness as Social Capital Strategic in Unconventional Tin Mining Activities in the Bangka Belitungs Island).
Oleh : Nova Rebina Tarigan, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Bahwa kita ketahui menurut sejarahnya penambangan Timah di Bangka Belitung sudah dimulai sejak Tahun 1711. dan oleh Sultan Ratu Anom Komaruddin (Sultan Palembang) telah menandatangani kontrak perdagangan timah dengan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) ditahun 1722. Seiring waktu, bahwa industri pertambangan timah di Bangka Belitung berkembang pesat dan menjadi salah satu sektor ekonomi utama. Kita sepakat bahwa kegiatan penambangan timah inkonvensional ini adalah kegiatan sosial - ekonomi yang menjadi penuh dilema. Di satu sisi, aktivitas ini menjadi sumber penghidupan utama bagi sebagian besar masyarakat lokal. Di sisi lain, dampak ekologisnya berupa kerusakan lahan, pencemaran air, dan hilangnya ekosistem pesisir menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan lingkungan. Oleh sebab itu bahwa kesadaran hukum lingkungan harus ditempatkan sebagai modal sosial strategis yang berhubungan langsung dengan keberlakuan Hukum Lingkungan dan Hukum Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia. Kesadaran hukum lingkungan disini maksudnya bukan sekadar pemahaman terhadap norma atau peraturan, melainkan kesadaran kolektif masyarakat untuk menempatkan kelestarian alam sebagai bagian dari kepentingan bersama. Dalam kenyataannya bahwa kesadaran hukum masyarakat masih sering berbenturan dengan kebutuhan ekonomi. Banyak penambang tradisional yang menganggap aturan hukum sebagai hambatan, bukan sebagai pedoman bersama. Oleh karena itu, strategi penguatan kesadaran hukum harus dilakukan secara dialogis dan inklusif, melalui pendidikan hukum, pemberdayaan komunitas, serta kolaborasi antara pemerintah, akademisi, perusahaan, dan masyarakat sipil. Bahwa kesadaran hukum masyarakat tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri. Di sinilah peran strategis Pemerintah Provinsi Bangka Belitung diperlukan. Bahkan akademisipun memiliki tanggung jawab bersama.
Adapun yang bisa kita lakukan adalah:
- Implementasi Hukum Lingkungan dan SDA:
Pemerintah harus konsisten dan tegas dalam menjalankan UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan hukum sumber daya alam (UU Minerba dan aturan turunannya) sehingga masyarakat melihat adanya keadilan dan kepastian hukum.
Contoh: Pemerintah harus tegas dalam hal menjamin stabilitasi ekonomi masyarakat khususnya dalam hal tambang. Pemerintah harus sudah memikirkan adanya mine mapping untuk membantu perencanaan tambang agar lebih efisien dan aman. dan menindak tegas adanya penambang ilegal
- Pengembangan Alternatif Ekonomi:
Pemerintah provinsi juga perlu mendorong diversifikasi ekonomi melalui pengembangan ekowisata, perikanan, perkebunan berkelanjutan, atau program reklamasi lahan pascatambang, sehingga masyarakat tidak semata bergantung pada tambang timah inkonvensional.
Pada akhirnya, masa depan Bangka Belitung tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar cadangan timah yang masih tersisa, tetapi juga oleh seberapa tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat serta komitmen pemerintah provinsi dalam menjadikan hukum lingkungan dan sumber daya alam sebagai pilar pembangunan yang berkelanjutan.
Propaganda Politik Hukum : Antara Legitimasi Semu dan Kepentingan Kekuasaan
Oleh : Jeans Fiesta Purnama, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Politik hukum di Indonesia kerap bergerak dalam pusaran tarik-menarik kepentingan. Ia tidak hanya mencerminkan kehendak pembuat kebijakan, tetapi juga menunjukkan ideologi dan kepentingan politik yang dominan. Dalam dinamika tersebut, propaganda politik hukum muncul sebagai strategi membentuk persepsi publik mengenai kebijakan melalui narasi yang terstruktur, persuasif, dan seringkali manipulatif. Propaganda hukum kerap hadir dalam bentuk slogan atau jargon yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, misalnya dengan dalih “demi kesejahteraan rakyat” atau “untuk keadilan”. Narasi semacam ini membungkus regulasi yang sejatinya lebih menguntungkan kelompok tertentu, sehingga tercipta legitimasi semu. Publik diarahkan untuk menerima kebijakan tanpa kesempatan menelaah substansi maupun dampaknya. Dalam perspektif teori, Antonio Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni terbentuk ketika kelompok dominan tidak hanya menguasai secara koersif, tetapi juga melalui konsensus yang dibangun dengan bahasa dan wacana. Senada, Michel Foucault menegaskan bahwa kekuasaan bekerja lewat wacana, termasuk hukum, yang membentuk “kebenaran” tertentu di masyarakat. Dengan demikian, propaganda politik hukum dapat dipahami sebagai instrumen untuk melanggengkan kekuasaan melalui pengendalian narasi publik. Dampaknya nyata: pertama, daya kritis masyarakat melemah karena mereka terus dibombardir dengan narasi positif. Kedua, dominasi elit dalam legislasi semakin kuat, menjadikan hukum rentan diperalat. Ketiga, partisipasi publik dalam mengkritisi kebijakan menurun karena opini telah diarahkan sejak awal. Contohnya, regulasi yang dipromosikan atas nama pembangunan justru meminggirkan kelompok rentan atau memperkuat dominasi korporasi. Untuk mengantisipasi hal ini, diperlukan kesadaran kritis masyarakat dan transparansi dalam proses legislasi. Keterbukaan informasi serta partisipasi publik yang otentik harus menjadi pilar agar propaganda tidak menutup ruang evaluasi. Pada akhirnya, hukum seharusnya berdiri sebagai instrumen keadilan dan kepastian, bukan sekadar alat legitimasi bagi kepentingan kekuasaan.
Politik Hukum Lingkungan dan Penertiban Kawasan Hutan: Dialektika Kekuasaan, Hukum, dan Keadilan Sosial
Oleh : Jeans Fiesta Purnama, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Politik hukum lingkungan di Indonesia selalu berada dalam ketegangan antara kepentingan pembangunan, kelestarian ekologi, dan perlindungan masyarakat. Penertiban kawasan hutan (PKH) menjadi salah satu isu strategis yang memperlihatkan dinamika tersebut, karena menyangkut akses dan kontrol terhadap sumber daya alam yang bernilai tinggi. Secara konstitusional, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mandat ini dijabarkan lebih lanjut dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Regulasi tersebut seharusnya menghadirkan keseimbangan antara fungsi ekologis hutan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam. Namun, praktik di lapangan sering menimbulkan paradoks. Penertiban kawasan hutan di Bangka Belitung, misalnya, memperlihatkan kerentanan masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada tambang timah rakyat atau hasil hutan non-kayu. Mereka kerap menjadi pihak yang paling mudah terkena sanksi, sementara korporasi besar dengan izin resmi relatif lebih terlindungi. Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa hukum diterapkan secara tidak setara dan lebih berpihak pada kepentingan pemodal besar. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa politik hukum lingkungan tidak pernah bebas nilai. Ia selalu merefleksikan tarik-menarik kepentingan ekonomi dan politik, yang kadang mengaburkan tujuan utamanya: menjaga kelestarian hutan sekaligus menjamin keadilan sosial. Ketika penertiban hanya menekankan aspek legal formal tanpa memperhatikan dimensi sosial, maka kebijakan tersebut berisiko melahirkan ketidakadilan struktural bagi masyarakat sekitar hutan. Oleh karena itu, PKH harus diletakkan dalam kerangka keadilan ekologis. Pemerintah perlu menjamin transparansi dalam penetapan kawasan, akuntabilitas dalam penegakan hukum, serta membuka ruang partisipasi masyarakat lokal. Tanpa langkah tersebut, politik hukum lingkungan akan cenderung menjadi instrumen pelanggeng kekuasaan, bukan sarana menghadirkan kepastian hukum dan kesejahteraan rakyat. Hutan adalah penyangga kehidupan. Penertiban kawasan hutan seharusnya bukan sekadar agenda administrasi, melainkan komitmen nyata negara untuk menegakkan hukum yang berpihak pada lingkungan sekaligus manusia yang hidup darinya.
Lemahnya KPU Bangka: Antara Regulasi dan Realitas Pilkada Ulang terhadap Paslon 5 Rato-Ramadian
Oleh : Delvia Jusmi, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Polemik Bermula dari Keputusan KPU Bangka dalam Penetapan Peserta Paslon Bupati dan Wakil Bupati Untuk Pilkada Ulang Tahun 2025 Pada Selasa, 22 Juli 2025. Berangkat dari hasil penetapan tersebut yang ditetapkan hanya 4 nama paslon dari 5 paslon yang dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) oleh KPU Bangka. Sedangkan paslon Rato & Ramadian dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Keputusan tersebut terasa tidak kredibel dikarenakan paslon sudah menjalani rangkaian proses yang jauh sebelumnya dimulai dari seleksi administrasi lalu kemudian seleksi kesehatan. Namun ketika penetapan yang terjadi Rato & Ramadian tidak memenuhi syarat secara administrasi. Hal ini tentu saja memicu pertanyaan di masyarakat mengenai konsistensi KPU dalam membuat keputusan. Bukankah seharusnya Rato & Ramadian sedari proses seleksi adminitrasi sudah tidak diloloskan oleh KPU jika yang menjadi dalil TSM adalah ijazah palsu tanpa mengkonfirmasi lebih lanjut ke instansi terkait dan membuat keputusan yang tidak adil bagi paslon Rato dan Ramadian. Mengenai isu ijazah palsu paslon sudah seharusnya KPU Bangka lebih paham situasional dikarenakan KPU berkewajiabn untuk memverifikasi berkas pendaftran dari bakal paslon sebelum menetapkan bakal paslon lolos secara administrasi. Berdasarkan PKPU Nomor 8 Tahun 2024 Pasal 50 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) mengenai verifikasi administrasi dokumen syarat dukungan sebelum membuat sebuah keputusan agar tidak menciderai asas keadilan KPU dan sikap tidak konsisten yang bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (5) Undang-undang Dasar NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh suatu badan pemilu yang bersifat mandiri. Prinsip kemandirian ini mengharuskan KPU untuk bertindak bebas dari intervensi pihak lain, termasuk dalam membuat dan menerapkan putusan. Dari hasil Sidang Musyawarah Sengketa Pilkada yang telah dilaksanakan. KPU Bangka kembali menetapkan paslon Rato & Ramadian kembali memenuhi syarat untuk andil dalam proses Pilkada. Namun sayangnya karena keputusan KPU sebelumnya yang menyatakan TSM berakibat fatal untuk paslon Rato & Ramadian. Paslon Rato & Ramadian harus melewatkan momen penting dan sakral dari rangkaian proses pilkada yaitu pengambilan nomor urut serta eksistensi paslon selama proses pilkada menjadi redup yang dapat memepengaruhi elektabilitas paslon Rato & Ramadian di masyarakat. Pasca Pilkada paslon Rato & Ramadian berada pada urutan nomor dua. Dari serangkaian dinamika yang telah dilalui oleh paslon tidak menjadikan paslon kalah telak pasca pemilihan. Jika dilihat kembali prosesnya bukan tidak mungkin jika paslon Rato & Ramadian sebenarnya bisa saja berindikasi menjadi yang pertama. Dengan demikian, dari paslon Rato & Ramadian dapat menjadi contoh nyata politik hukum antara regulasi dan realitas seringkali terbentur oleh kenyataan dilapangan, terutama ketika lembaga penyelenggara dalam hal ini KPU Bangka tidak dapat konsisten dalam menegakkan aturan. Oleh karena itu, pentingnya integritas tinggi dimiliki oleh KPU Bangka dalam mengemban tugas negara kedepannya sehingga tidak menimbulkan akibat hukum untuk KPU Bangka, kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap KPU Bangka dan juga ketidakadilan untuk paslon kedepannya.
Hukum Lingkungan (seharusnya) sebagai Penjaga: Melindungi Sumber Daya Alam Bangka Belitung dari Krisis Ekologi
Oleh : Indah Cahyani, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Sebagai penjaga atau ancaman?
Hukum lingkungan secara fundamental dirancang sebagai instrumen penjaga (a guardian) untuk melindungi dan melestarikan ekosistem. Peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan peraturan turunannya seharusnya menjadi benteng utama. Undang-Undang ini merupakan payung hukum yang mengatur secara komprehensif mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, hingga penegakan hukum lingkungan. Meskipun memiliki peran ideal sebagai penjaga, dalam praktiknya, hukum lingkungan seringkali gagal dan justru menjadi “ancaman” bagi lingkungan. Kegagalan ini bukan terletak pada substansinya, melainkan pada implementasinya. Faktor-faktor seperti lemahnya koordinasi antarinstansi, kurangnya pengawasan, serta dugaan keterlibatan oknum dalam praktik illegal, membuat hukum seakan kehilangan giginya. Akibatnya kerusakan lingkungan terus meluas tiada hentinya. Julukan “Negeri Serumpan Sebalai” dengan kekayaan mineralnya khususnya timah, telah membawa kemakmuran bagi masyarakat Bangka Belitung. Namun di sisi lain, juga membawa kerusakan lingkungan yang masif. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkendali, terutama penambangan timah, telah menciptakan kerusakan ekosistem pesisir. Pada akhirnya timbul pertanyaan mendasar “apakah instrumen-instrumen hukum ini benar-benar berfungsi sebagai penjaga di Bangka Belitung?”. Untuk mengembalikan peran hukum lingkungan sebagai penjaga yang efektif, diperlukan langkah strategis untuk memperkuat peran hukum lingkungan. Menurut hemat penulis, perlu ada sinergi dan kolaborasi efektif antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum dan masyarakat. Proses perizinan harus transparan dan berbasis pada kajian lingkungan yang ketat, dan sanksi hukum harus ditegakkan secara konsisten tanpa kompromi, baik bagi pelaku individu maupun korporasi. Tanpa perubahan yang fundamental dalam cara hukum lingkungan dipandang dan diterapkan, Bangka Belitung akan terus terperangkap dalam spiral krisis ekologis. Hukum lingkungan tidak hanya harus ada, tetapi harus hidup, bergerak dan melindungi. Hukum lingkungan harus diaktifkan sebagai “penjaga” yang tangguh, bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam implementasi nyata. Membiarkan sumber daya alam Bangka Belitung terus dieksploitasi tanpa Batasan berarti membiarkan kekayaan alam musnah dan mewariskan krisis ekologi kepada generasi mendatang.
Menakar Ulang Desain Kenegaraan: Ancaman Otoritarianisme dalam Politik Hukum Kontemporer
Oleh : Indah Cahyani, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Desain kenegaraan yang termaktub dalam konstitusi merupakan fondasi fundamental bagi suatu negara, menentukan bagaimana kekuasaan diatur, dibagi dan dibatasi. Dalam konteks politik hukum kontemporer, Indonesia menghadapi tantangan serius terhadap desain kenegaraan yang telah dibangun pasca reformasi. Ancaman otoritanisme tidak lagi datang dalam wujud terang-terangan seperti di masa lalu, melainkan menyusup secara halus melalui manipulasi hukum dan lembaga negara. Ini adalah alarm bagi kita semua untuk menakar ulang, apakah desain kenegaran yang ada masih cukup tangguh untuk membendung arus balik menuju kekuasaan yang terpusat dan tidak terkontrol. Di masa lalu, politik hukum sering kali dimaknai sebagai proses pembentukan undang-undang yang pro rakyat. Namun, dalam dinamika kontemporer, politik hukum telah bergeser menjadi instrumen untuk melegatimasi kepentingan kekuasaan. Amandemen konstitusi dan pembentukan undang-undang sering kali tidak lagi didasarkan pada kebutuhan negara yang ideal, melainkan pada kalkulasi politik pragmatis untuk memperkuat kekuasaan eksekutif. Misalnya, revisi undang-undang yang melemahkan lembaga-lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau pembentukan aturan yang membatasi partisipasi publik. Proses ini merupakan bentuk legal formal authoritarianism, dimana otoritarianisme dibingkai dalam kerangka hukum yang seolah-olah sah. Menghadapi tantangan ini, diperlukan upaya kolektif untuk meneguhkan kembali desain kenegaraan yang demokratis. Menurut hemat penulis, reformasi hukum harus diarahkan pada penguatan lembaga-lembaga independen dan mekanisme checks and balances. Selanjutnya, Pendidikan publik tentang pentingnya demokrasi dan bahaya otoritanisme yang berbalut hukum adalah ancaman yang jauh lebih berbahaya karena sulit dilawan. Pada akhirnya, desain kenegaraan bukanlah sebuah cetak biru yang statis, melainkan proses yang dinamis. Diperlukan kewaspadaan dan keberanian dari seluruh elemen bangsa pemerintah, parlemen, yudikatif dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa desain kenegaraan yang kita warisi tidak runtuh oleh manuver politik hukum yang mengikis fondasi demokrasi. Masa depan Indonesia sangat bergantung pada kemampuan kita untuk menakar ulang, menjaga dan memperkuat desain kenegaraan agar tetap pro rakyat dan anti otoritarianisme.
Antara Reformasi dan Reaksi Rakyat
Oleh : Manisha Bagiawani, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Dalam beberapa tahun terakhir ini, dapat dikatakan sebagai salah satu momentum dinamika politik yang bergejolak di Indonesia, rakyat yang diam sekarang bergemuruh dengan tuntutannya mengharapkan transparansi keadilan demi terwujudnya cita-cita bangsa yang dulunya sering digaungkan. Salah satu fase terberat yang disuarakan rakyat adalah protes nasional atas hadirnya Omnibus Law yang digadang-gadang sebagai kebijakan baru yang mengedepankan peningkatan investasi dan daya saing Indonesia di era global. Singkatnya, Omnibus Law disebut sebagai upaya untuk penyederhanaan undang-undang dengan tujuan menghilangkan regulasi yang tumpang tindih yang selama ini dinilai menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Tentunya dengan adanya penyederhanaan ini diharapkan dapat membuka kesempatan seluas-luasnya peluang investasi bagi pelaku usaha. Namun protes berlanjut, mencerminkan frustrasi yang lebih dalam terkait oligarki politik dan ketimpangan ekonomi. Krisis semacam ini makin diperuncing oleh salah satu contoh Omnibus Law yang ada di Indonesia yakni Undang-Undang Cipta Kerja. Regulasi ini meliputi berbagai macam isu seperti tentang ketenagakerjaan, lingkungan hidup hingga kemudahan perizinan investasi yang tujuan utamanya untuk membuka lebih banyak lapangan pekerjaan dan memicu investasi langsung dari luar ke Indonesia. Praktik ini dinilai berbahaya, beberapa pihak khawatir dapat mengancam hak-hak pekerja terkait dengan upah yang diterima, pesangon, hak jaminan sosial serta Perusahaan dapat dengan mudahnya memberhentikan pekerja-pekerja. Omnibus Law dinilai dibentuk untuk memihak pihak-pihak tertentu yang cenderung tidak lagi memandang kepentingan masyarakat luas melainkan kepentingan-kepentingan pengusaha besar yang hanya berbasis keuntungan. Dari sisi lingkungan hidup, RUU ini dikhawatirkan akan mengesampingkan standar perlindungan lingkungan karena mengedepankan kemudahan bagi Perusahaan untuk mengekspansi lingkungan tanpa batas. Omnibus Law memperlihatkan bahwa politik hukum bukan hanya soal norma formal, tapi juga arena perjuangan masyarakat untuk mempertahankan hak kolektif di tengah dominasi elit politik dan ekonomi. Di sisi lain, proses perancangan Omnibus Law inipun dinilai minim partisipasi public, dengan kata lain mengabaikan demokrasi legislatif. Politik hukum Indonesia saat ini sedang diuji serius, “Apakah hukum justru diberdayakan sebagai suatu alat memperkuat aspirasi rakyat, atau sebaliknya, sebagai tameng elit dan kapital?” Omnibus Law membuka banyak pintu kecurigaan, “Apakah hukum dibentuk untuk perlindungan publik atau untuk efisiensi investasi?” Reaksi keras terhadap protes mencerminkan bahwa negara belum belajar dari Sejarah bahwa pengabaian hak fundamental atas nama transformasi ekonomi dapat memicu konflik sosial yang besar. Jika politik hukum tetap dipakai sebagai instrumen kekuasaan tanpa legitimasi sosial, maka rakyat akan selalu bangkit melawan. Dan legitimasi hukum itu hanya datang ketika hukum benar-benar bekerja untuk keadilan, bukan untuk eksklusi.
Ketamakan di Atas Keanekaragaman
Oleh : Manisha Bagiawani, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Dalam arus modernisasi dan pembangunan, Indonesia menghadapi dilema besar, mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan tanggung jawab etis terhadap lingkungan dan generasi mendatang. Etika lingkungan menuntut kita tidak hanya mempertanyakan apa yang bisa kita capai, tetapi juga bagaimana kita mencapainya. Raja Ampat, salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, tengah menghadapi ancaman serius dari aktivitas pertambangan nikel. Ironisnya, eksploitasi ini dilakukan atas nama transisi energi global menghasilkan nikel untuk baterai kendaraan listrik, sebuah produk "ramah lingkungan" yang justru mencederai lingkungan asalnya. Secara etika lingkungan, tindakan ini mencerminkan kontradiksi mendasar. Di satu sisi, dunia ingin mengurangi emisi karbon dengan mengganti energi fosil. Namun di sisi lain, bahan bakunya diambil dengan cara merusak ekosistem yang tak tergantikan. Kerusakan 500 hektar hutan hujan tropis dan sedimentasi yang mengancam terumbu karang menjadi harga yang dibayar atas nama "kemajuan hijau". Etika lingkungan menekankan prinsip keadilan ekologis dan tanggung jawab antar-generasi. Kawasan seperti Raja Ampat bukan sekadar lokasi ekonomi, melainkan warisan alam dunia yang harus dijaga bukan hanya untuk masyarakat lokal, tetapi juga generasi mendatang. Pertambangan nikel di wilayah ini, yang telah mencabut izin beberapa perusahaan namun tetap menyisakan kerusakan, menunjukkan bahwa tata kelola lingkungan masih lemah di hadapan tekanan ekonomi dan politik. Selain itu, komunitas local, khususnya masyarakat adat Maya, tidak cukup dilibatkan dalam proses perizinan dan pengambilan keputusan. Padahal secara moral, mereka adalah pemilik sah pengetahuan lokal dan penjaga ekosistem selama ratusan tahun. Mengabaikan suara mereka berarti melanggar prinsip keadilan sosial dalam etika lingkungan. Dalam konteks ini, pemerintah dan korporasi harus berhenti menyederhanakan pembangunan berkelanjutan sebagai pertumbuhan ekonomi yang dibungkus dengan “label hijau”. Pembangunan sejati adalah yang tidak merusak ekosistem kunci, menghormati hak masyarakat adat, dan mendahulukan pelestarian jangka panjang dibanding keuntungan jangka pendek. Raja Ampat bukanlah “kendala” bagi pertumbuhan ekonomi hijau, ia justru tolok ukur utama apakah transisi energi global benar-benar etis atau sekadar perubahan bentuk dari eksploitasi lama. Etika lingkungan mengingatkan kita bahwa solusi iklim tidak bisa dibangun di atas reruntuhan hutan dan terumbu karang. Kini saatnya berhenti mengorbankan surga demi baterai. Etika lingkungan mestinya mengedepankan konservasi sebagai prioritas, bukan eksploitasi tanpa batas. Gelombang protes masyarakat terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat bukan sekadar reaksi emosional, melainkan ekspresi dari krisis etika lingkungan yang semakin nyata. Raja Ampat bukan hanya “aset wisata” atau “lokasi tambang”, tetapi kawasan dengan ekosistem laut dan darat yang sangat rentan serta bernilai ekologis tinggi. Ketika pemerintah dan korporasi memaksakan eksploitasi nikel atas nama transisi energi, mereka mengabaikan prinsip moral paling mendasar: alam bukan barang dagangan.
Cermin Dinamika Kekuasaan dan Identitas Bangsa
Oleh : Fredi Junaidi, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Perkembangan politik hukum Indonesia merupakan potret dinamis dari perjuangan bangsa dalam membangun sistem hukum yang mencerminkan nilai-nilai keadilan, kemerdekaan, dan kedaulatan. Dalam fase sejarah, arah dan isi politik hukum Indonesia selalu bergantung pada siapa yang memegang kekuasaan.. Hal ini menunjukkan bahwa hukum di Indonesia bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari konfigurasi politik yang lebih luas. Pada masa penjajahan Belanda, politik hukum diarahkan untuk melayani kepentingan kolonial. Hukum dibuat bukan untuk menciptakan keadilan bagi semua rakyat, melainkan untuk mengontrol dan mengeksploitasi pribumi. Dualisme hukum diterapkan: hukum Eropa bagi orang Belanda dan Timur Asing, sementara hukum adat dan Islam hanya diberlakukan secara terbatas kepada masyarakat pribumi. Warisan hukum ini masih terasa hingga kini, dengan masih digunakannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan Belanda, meskipun sudah ada upaya reformasi. Setelah Indonesia merdeka, politik hukum diarahkan untuk membangun sistem hukum nasional berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Namun, realitasnya proses ini tidak berjalan mulus. Masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin menunjukkan bagaimana kekuasaan politik mendominasi pembentukan hukum. Di era ini, hukum digunakan sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan, bukan sebagai instrumen keadilan dan perlindungan rakyat. Pada masa Orde Baru, politik hukum sangat terpusat dikendalikan oleh negara. Hukum dijadikan instrumen pembangunan. Meskipun stabilitas dan pembangunan ekonomi dicapai, namun itu terjadi dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan hukum.Reformasi 1998 menjadi titik balik dalam politik hukum Indonesia. Arah politik hukum berubah drastis ke arah demokratisasi, transparansi, dan supremasi hukum. Berbagai undang-undang baru disahkan untuk memperkuat lembaga negara, menjamin HAM, dan memberantas korupsi. Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi: maraknya korupsi, lemahnya penegakan hukum, serta politisasi lembaga peradilan menunjukkan bahwa reformasi hukum belum sepenuhnya tuntas. Perkembangan politik hukum Indonesia menunjukkan bahwa hukum tidak pernah lepas dari dinamika politik. Salah satu tantangan utama adalah inkonsistensi antara produk hukum dan nilai-nilai demokrasi yang ingin ditegakkan. Selain itu, intervensi politik dalam penegakan hukum masih menjadi masalah yang mencolok. Hukum kerap dijadikan alat politik, bukan sebagai sarana keadilan. Oleh karena itu, politik hukum ke depan harus diarahkan untuk membangun sistem hukum yang berpihak pada keadilan sosial, menghormati HAM, dan bebas dari intervensi kekuasaan serta peran aktif masyarakat dalam menjaga marwah hukum sebagai panglima, bukan alat kekuasaan .Tanpa keberanian untuk terus mereformasi dan membersihkan sistem hukum dari pengaruh politik praktis, cita-cita negara hukum yang adil hanya akan menjadi slogan kosong.
Antara Kepentingan Ekonomi dan Keadilan Ekologis
Oleh : Fredi Junaidi, Mahasiswa MH Angkatan 2025
Politik hukum lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi dilema serius: antara memenuhi ambisi pertumbuhan ekonomi atau menjaga keberlanjutan lingkungan hidup. Di atas kertas, Indonesia memiliki banyak regulasi terkait perlindungan lingkungan—mulai dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup hingga UU Cipta Kerja yang merevisi sejumlah aturan terkait SDA. Namun dalam praktiknya, politik hukum di sektor ini lebih sering berpihak kepada kepentingan pemodal dari pada kepentingan rakyat dan alam itu sendiri. Kebijakan pengelolaan SDA di Indonesia selama ini cenderung eksploitatif. Pemerintah memberikan izin pengelolaan lahan kepada korporasi dalam skala besar, seperti tambang, kelapa sawit, dan kehutanan industri. Izin-izin tersebut seringkali diberikan tanpa partisipasi publik yang memadai dan tanpa studi dampak lingkungan yang transparan. UU Cipta Kerja, yang sempat menimbulkan kontroversi, memperlihatkan bagaimana deregulasi demi "kemudahan investasi" justru melemahkan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat serta lokal. Politik hukum SDA juga menunjukkan ketimpangan yang tajam. Kelompok masyarakat adat, petani kecil, dan nelayan seringkali menjadi korban kriminalisasi ketika mempertahankan wilayah kelolanya. Sementara itu, pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan dalam skala besar sering luput dari penegakan hukum yang tegas. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan struktural dalam hukum lingkungan: hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Di tengah ancaman krisis iklim global, Indonesia sebagai negara yang kaya akan hutan tropis dan keanekaragaman hayati seharusnya memposisikan politik hukumnya untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Sayangnya, pendekatan hukum yang digunakan masih bersifat sektoral dan reaktif. Belum ada integrasi yang kuat antara regulasi lingkungan dengan kebijakan energi, agraria, dan tata ruang. Politik hukum seharusnya tidak hanya memfasilitasi investasi, tapi juga menjamin keberlanjutan ekosistem untuk generasi mendatang. Sudah saatnya Indonesia mereformasikan arah politik hukum lingkungan dan SDA dari orientasi eksploitatif dan pro-investasi menuju pendekatan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Hukum masih sering dijadikan alat legitimasi kebijakan ekonomi jangka pendek, bukan sebagai instrumen perlindungan terhadap alam dan Masyarakat dan Hukum juga harus menjadi alat perlindungan bagi rakyat dan alam, bukan sekedar instrumen legalisasi bagi kepentingan ekonomi sesaat. Perlu ada keberanian politik untuk memperkuat penegakan hukum, memperluas partisipasi publik, dan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat serta kelompok rentan lainnya serta mendukung agenda global dalam menghadapi perubahan iklim. Tanpa perubahan mendasar ini, Indonesia akan terus berada dalam siklus konflik agraria, bencana ekologis, dan ketimpangan akses atas sumber daya alam.